Senin, 17 Desember 2012

JARINGAN INFRASTRUKTUR KOTA SURAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang  

Jaringan Infrastruktur Kota Surakarta mengambarkan persebaran sarana dan prasarana yang ada dalam wilayah tersebut. Dari hasil pemetaan dapat diperoleh informasi tentang keberadaan posisi atau letak sarana dan prasana tersebut. Sehingga dapat persebaran sarana dan prasarana dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat.

Perkembangan sarana dan prasarana dari tahun ke tahun Kota Surakarta berubah hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antaralain:
1.         Perkembangan ilmu teknologi.
2.         Pertambahan jumlah penduduk.
3.         Meningkatnya kebutuhan masyarakat.
Sehinga terjadi pembangunan daerah untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan masyarakat berupa saran dan prasana untuk memudahkan masyarajat.

Dampak dari pembangunan adalah perubahan jaringan infrastruktur dan persebaran saran dan prasana yang ada di Kota Surakarta. Sehingga perlu diadakan analisis terhadap persebaran jaringan tersebut. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui tingat aksebilitas  jaringan tersebut masyarakat sekitar. 


1.2.Tujuan

Tujuan dari penyusuna laporan Jaringan Infrastruktur Kota Surakarta antara lain:
  1.  Dapat mengetahui tingakat pemahaman, kinerja, kemampuan dan keterampilan mahasisawa dalam pengembangan SIG Untuk Analisis Jaringan Infrastruktur.
  2. Mahasiswa memperoleah gambaran tentang dunia kerja sehungga dapat mengasah kemampuan Mahasiswa.
  3. Penyempurnaan terhadap mata kuliah SIG Untuk Analisis Jaringan Infrastruktur dan bemanfaat kajian ilmunya.



BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH

2.1. Gambaran Secara Geografi
           
Secara geografis Kota Surakarta berada antara 110045'15'' - 110045'35'' Bujur Timur dan antara 7036'00''- 7056'00' 'Lintang Selatan, dengan luas wilayah kurang lebih 4.404,06 Ha. Kota Surakarta juga berada pada cekungan di antara dua gunung, yaitu Gunung Lawu dan Gunung Merapi dan di bagian timur dan selatan dibatasi oleh Sungai Bengawan Solo.
           
Dilihat dari aspek lalu lintas perhubungan di Pulau Jawa, posisi Kota Surakarta tersebut berada pada jalur strategis yaitu pertemuan atau simpul yang menghubungkan Semarang dengan Yogyakarta (JOGLOSEMAR), dan jalur Surabaya dengan Yogyakarta. Dengan posisi yang strategis ini maka tidak heran kota Surakarta menjadi pusat bisnis yang penting bagi daerah kabupaten di sekitarnya.

Jika dilihat dari batas kewilayahan, Kota Surakarta dikelilingi oleh 3 kabupaten. Sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Karanganyar dan Boyolali, sebelah timur dibatasi dengan kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar, sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Sukoharjo, dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar.

        Sementara itu secara administratif, Kota Surakarta terdiri dari 5 (lima) wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan Banjarsari. Dari kelima kecamatan ini, terbagi menjadi 51 kelurahan, 595 Rukun Warga (RW) dan 2669 Rukun Tetangga (RT).


2.2. Profil Kota

Kota Surakarta memiliki luas wilayah 44,04 Km2 terbagi menjadi 5 kecamatan dan 51 Desa ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten sukoharjo di sebelah selatan, Kabupaten sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar di sebelah barat dan timur.

Kota Surakarta terkenal dengan batik, keraton, dan pasar klewer, layak perekonomian yang didominasi oleh kegiatan pariwisata dan perdagangan dan jasa, begitu juga dengan Surakarta, kota ini lebih dikenal dengan Kota Solo. Untuk pariwisata, eksistensi keraton Kasunanan surakarta Hadiningrat dan Mangkunegaran menjadikan Solo sebagai poros sejarah, seni, budaya, yang memiliki nilai jual. Nilai jual ini termanifestasi melalui bagunan kuno, tradisi kerajaan yang terpelihara, dan karya seni yang menakjubkan, tatanan penduduk setempat yang tidak lepas dari sentuhan-sentuhan kultural dan spiritual keraton yang semakin menambah daya tarik. Salah satu tradisi yang berlangsung turun temurun dan semakin mengangkat nama daerah ini adalah membatik. Seni dan pembatikan solo menjadikan daerah ini menjadi pusat batik di Indonesia.

Pariwisata dan perdagangan ibarat dua sisi mata uang, sektor pariwisata tidak akan ada artinya bila didukung sektor perdagangan, minimal keberadaan perdagangan cendera mata dan kerajinan khas daerah menjadikan pariwisata semakin berdenyut. Berbeda dengan kegiatan perdagangan, sektor pertanian kurang bisa diandalkan, kebutuhan pokok seperti beras, sayur-sayurandan bahan dasar protein yang seharusnya terpenuhi melalui sektor ini harus bergantung dari daerah lain. Pemberdayaan sektor pertanian hampir tidak mungkin dapat dilakukan, sama sulitnya dengan mengembangkan wilayah permukiman akibat keterbatasan lahan.

Secara kumulatif, sektor tersier yang terdiri dari usaha perdagangan, hotel, dan restoran,angkutan, dan komunikasi serta jasa-jasa menjadi andalan daerah. Terdapat beberapa industri pengolahan yang didominasi oleh industri rumahtangga, kebanyakan industri bergerak dalam bidang pembuatan bati dna pakaian jadi yang hasilnya tidak hanya dinikmati oleh pasar setempat dan nasional, tetapi juga pasar internasional.


BAB III
JARINGAN INFRASTRUKTUR

3.1. Diskripsi Jaringan Jalan
       Jaringan jalan menggambarkan persebaran jalan yang ada di Kota Surakarta. Persebaran ini bisa menjangkau mulai dari pusat kota hingga ke dalam wilayah permukiman penduduk dan ke daerah terpelosok atau ke daerah pedesaan yang dapat ditampilkan dalam peta pada lampiran. Jalan dapat dibedakan dalam berbagai klasifikasi kelas antara lain:
1.    Berdasarakan Daya Beban
  1.  Kelas I tekanan maksimum 7 ton/m2
  2. Kelas II tekanan maksimum 5 ton/m2
  3. Kelas III tekanan maksimum 3.5 ton/m2
  4. Kelas IV tekanan maksimum 2 ton/m2
  5. Kelas V tekanan maksimum 1.5 ton/m2
2.    Berdasarkan Fungsi Jalan
  1. Jalan Utama ( Arteri ) menyalurkan lalu lintas antar kota.
  2. Jalna Utama Kota (Minor) menyalurkan lalu lintas antar luar kota dan kedalam kota atau sebaliknya.
  3. Jalan Antar Lingkungan ( Minor ) menyalurkan lalu lintas wilayah kota atau lingkungan dari lingkungan ke jalan utama.
  4. Jalan Lingkungan jalan yang ada dikawasan lingkungan perumahan, permukiman, industri, perkantoran, kampus.
3.    Berdasarkan Wewenang
  1. Jalan Negara didanai oleh APBN.
  2. Jalan Propinsi didanai oleh APBD Propinsi.
  3. Jalan Protokol didanai oleh Pemkot/Pemkab.
  4. Jalan Lingkungan didanai oleh Pemkot/Pemkab dan swadaya masyarakat.


3.2. Diskripsi Jaringan Listrik
           
        Jaringan Listrik menggambarkan tentang  persebaran listrik di Kota Surakarta sudah merata atau belum. Jaringan Listrik sangat penting karena listrik banyak digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan industri, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Berikut ini merupakan sebaran jaringan listrik ditampilkan dalam peta pada lampiran.


3.3. Diskripsi Jaringan PDAM

Jaringan PDAM menjelaskan tentang persebaran tentang air bersih yang ada di Kota Surakarta. Dari pemetaan Jaringan PDAM dapat lihat persediaan air bersih dan persebarannya sudah merata atau belum rata. Persebaran Jaringan PDAM dapat ditampilkan dalam peta pada lampiran.  Air bersih yang disalurkan kepada masyarakat harus mempunyai kualitas air yang baik. Syarat syarat air yang berkualitas dapat di uji dengan 2 cara yaitu:
1.    Secara Fisika yaitu pengujian air berdasarkan sifat fisik
1.      Air tidak berbau,
2.      Air tidak berwarna
3.      Air tidak berasa.
2.    Secara Kimia yaitu dapat diuji kandungan kimia air antara lain:
1.      BOD dengan ambang batas 100mg/l
2.      COD dengan ambang batas 100mg/l
3.      TSS dengan ambang batas 100mg/l
4.      Sulfida dengan ambang batas 100mg/l
5.      Amoniak dengan ambang batas 100mg/l


3.4. Deskripsi Jaringan Kesehatan

         Jaringan Kesehatan menjelaskan bahwa persebaran fasilitas kesehatan untuk masyarakat sudah merata atau belum merata. Dari hasil pemetaan jaringan kesehatan dapat disimpulkan bahwa semakin merta persebaran fasilitas kesehatan maka kesehatan masyarakat akan terjamin. Dapat mengurangi anka kematian yang ada di masyarakat. Dapat dilihat pada peta berikut ini persebaran jaringan kesehatan ditampilkan dalam peta pada lampiran.
1.    Peningkatan Pelayanan Kesehatan dan Capaian diarahkan  
  1. Penanganan Penyakit menular
  2. Penanggulangan Gizi pada Ibu Hamil dan Anak-anak;
  3. Mendorong Upaya Peran aktif masyarakat dan swasta dalam kaitanya dengan perilaku hidup dan gaya hidup sehat sejak usia dini melalui kesehatan dan pemberdayaan; serta
  4. Terwujudnya pemantapan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan yang terpadu, efisien, rsional dan akuntabel dengan mengembangkan sistim informasi berdasarkan bukti (avidence based) dalam mendorong pembangunan berwawasan kesehatan.
2.    Penerapan program unggulan dalam peningkatan pelayanan kesehatan
1.         Puskesmas Rawat Inap
2.         Puskesmas sore hari
3.         Peningkatan mutu Pusekesmas melalui sertifikasi ISO 9001
4.         Layanan klinik infeksi Menular SEksual (rujukan ke klinik VC
5.         Layanan klinik konsultasi kesehatan remaja& program kurikulum KKR dan SLTP
6.         Layanan kunjungan ahli anak dan obsgyn ke Puskesmas.
7.         Program regristasi dan sertifikasi kematian
8.         Sistim Informasi Kesehatan Daerah
9.         Prog Askeskin
10.     Sistim Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Kota Surakarta (PKMS)


BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

            Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa jaringan infrastruktur Kota Surakarta hampir merata disetiap wilayahnya. Dari hasil pemetaan dan survei yang dilakukan pihak yang terkait pengelolaan jaringan infrastruktur Kota Surakarta sudah baik. Sehingga kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi dengan baik karena ketersediaan jaringan sarana dan prasana yang hampir merata di hingga ke daerah pelosok.

Saran

      Diharapkan dari pembahasan diatas tentang Kota Surakarta dapat diperoleh manfaat anatara lain:
  1. Dapat dijadikan sarana belajar untuk mahasiswa medalami dan memahami mata kuliah SIG untuk Analisis Jaringan Infrastruktur.
  2. Dapat dijadikan bahan pertimbangan Kota Surakata dalam pembangunan daerah serta dapat meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan daerah .


DAFTAR PUSTAKA
http://www.surakarta.go.id/
Kantor BAPPEDA Kota Surakarta
NN. 2010. Jaringan Infrastruktur. Semarang: Suka-Suka

PETA BATHIMETRI

 Berita pada media cetak Jakarta Post, 11 Februari 2008 serta munculnya polemik yang berkembang pada media elektronik tentang ditemukanya cadangan migas raksasa oleh BPPT di cekungan busur muka Simeulue yang terletak di lepas pantai sebelah barat Aceh dengan perkiraan cadangan mencapai 320 milyar barrel telah mengundang berbagai reaksi dari kalangan ahli geologi dan perminyakan Indonesia, karena angka cadangan yang dikemukakan termasuk spektakuler untuk ukuran cadangan pada cekungan-cekungan di Indonesia. Sebagai pembanding bahwa Saudi Arabia, yang mempunyai cekungan-cekungan raksasa dan cadangan terbesar di dunia, hanya mempunyai cadangan terbukti sebesar 264,21 milyar barrel.

Cekungan Simeulue telah menjadi target eksplorasi potensi hidrokarbon sejak tahun 1968 hingga 1978 ketika perusahaan Union Oil melaksanakan kontrak kerjasama eksplorasi. Selama waktu tersebut beberapa pemboran eksplorasi telah dilaksanakan, terutama di daerah dekat pantai pada kedalaman laut kurang dari 200 m (Rose, 1983). Tiga sumur menemukan indikasi adanya akumulasi gas dalam batuan karbonat, tetapi tidak satupun mengindikasikan nilai komersial.

Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL), Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen ESDM, sebagai salah satu institusi pemerintah yang mempunyai tugas pokok melaksanakan berbagai penelitian potensi sumber daya mineral dan energi di laut, juga telah melakukan kajian saintifik terhadap beberapa data  seismik yang tersedia di kawasan tersebut. Gambar 1. memperlihatkan fisiografi terbentuknya zona subduksi, prisma akresi, dan cekungan busur luar di sepanjang tepian lempeng aktif Sumatera yang terdiri dari cekungan Simeulue-Sibolga, cekungan Nias dan cekungan Mentawai-Bengkulu.


Gambar 1. Fisiografi cekungan busur muka di sebelah barat Sumatera

Beberapa data seismik yang berkaitan dengan potensi hidrokarbon pada cekungan busur muka di kawasan lain juga digunakan sebagai data pembanding. Berdasarkan beberapa kajian sebelumnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti dikawasan ini seperti kajian seismik stratigrafi beberapa cekungan busur muka di cekungan southwest Sumatera dan southwest Java (postdoc project Susilohadi bersama BGR, 2005) menggunakan data RV Sonne SO137  juga tidak memperlihatkan potensi hidrokarbon yang signifikan pada cekungan-cekungan busur muka.

Demikian pula, hasil review beberapa publikasi yang berkaitan dengan potensi hidrokarbon pada cekungan busur muka, diantaranya Cruise Report and Preliminary Result SO186-2 (Gaedicke, dkk., 2006); Cruise Report SO200-2 (2009); dan Techtonics and Structural Style of Lombok and Savu Basins, Snellius II Expedition (van Weering, dkk., 1986) juga tidak menunjukan kemungkinan adanya potensi hidrokarbon yang berlimpah.

Oleh sebab itulah, pernyataan bahwa sub-cekungan busur muka Simeulue memiliki cadangan migas terukur atau Original Oil in Place (OOIP, dalam satuan barrel), dirasakan merupakan pernyataan yang terlalu dini tanpa dukungan data test laboratorium perminyakan lainnya


Model Tektonik Tepian Lempeng Aktif (Active Plate Margin)

Pergerakan relatif antara Lempeng India-Australia dan Eurasian selama Kenozoikum terekam secara jelas oleh data-data paleomagnetic dan anomali-anomali magnetik pada kerak samudera. Berdasarkan hal-hal tersebut, berbagai model rekonstruksi geologi di Indonesia bagian barat telah bermunculan, seperti: Daly dkk. (1987), Rangin dkk. (1999), Longley (1997), dan Hall (1996, 1997). Sejak awal Kenozoikum lempeng India dan Australia telah menyatu dan bergerak ke arah utara relatif terhadap lempeng Eurasia (Liu dkk., 1983; Hall, 1997, 1998).

Tumbukan antar lempeng tersebut di barat daya paparan Sunda dimulai pada jaman Kapur (Katili, 1975; Hamilton, 1979), dan menjadi sangat aktif selama Paleosen dengan mencapai kecepatan penunjaman hingga lebih dari 15 cm/tahun (Molnar & Tapponier, 1975; Karig dkk., 1979). Penurunan kecepatan hingga 3 cm/tahun terjadi pada jaman Eosen Tengah ketika Benua India mulai bertemu dengan Benua Eurasia (Karig dkk., 1979). Pada saat tersebut banyak cekungan-cekungan mulai terbentuk karena adanya gaya-gaya tarikan di daerah Indonesia bagian barat (Daly dkk., 1991; Hall, 1996, 1997).

Pada jaman Eosen Akhir hingga Oligosen Awal pemekaran (spreading) kerak samudera terjadi kembali di Lautan Hindia hingga memungkinkan adanya perubahan arah tumbukan lempeng Indo-Australia menjadi timur laut dan kecepatan penunjaman lempeng tersebut di sepanjang tepian Sumatera dan Jawa menjadi konstan 5-6 cm/tahun (Liu dkk., 1983; Karig dkk., 1979; Daly dkk. 1987, Hall, 1996, 1997). Hal tersebut pada akhirnya akan mengawali pembentukan cekungan busur muka pada jaman Neogen di sepanjang busur Sunda.

Tumbukan India dengan Eurasia pada jaman Oligosen Akhir hingga Miosen Awal juga telah mengakibatkan sejumlah besar sedimen daratan (terrigenous) diendapkan di Lautan Hindia dan Palung Sunda. Sedimen tersebut terakumulasi dengan cepat hingga memungkinkan pembentukan prisma akresi (Matson dan Moore, 1992).

Pada Miosen Tengah bagian tenggara lempeng benua Eurasia mengalami perputaran (Hall, 1997). Perputaran tersebut telah mengakibatkan bertambahnya kemiringan posisi bagian barat Busur Sunda relatif terhadap gerakan lempeng  Indo-Australian dan disertai dengan kegiatan magmatik yang kuat (Simanjuntak & Barber, 1996; Hall, 1996, 1997). Posisi penunjaman yang miring di barat daya Sumatera tersebut juga menyebabkan adanya pemisahan gaya tekanan tektonik (partition of strain) ke arah tegak lurus zona penunjaman yang mengakibatkan persesaran naik dalam prisma akresi, dan ke arah sejajar zona penunjaman yang diwujudkan dengan munculnya sistem Sesar Sumatera (Katili, 1973; Hamilton, 1979; Moore, dkk. 1980; McCaffrey, 1991 & 2000; Malod dkk., 1995) dan Sesar Mentawai (Diament dkk., 1992).

Selat Sunda mencerminkan daerah transisi antara daerah dengan penunjaman miring di sepanjang barat Sumatera dan daerah dengan penunjaman tegak lurus (frontal) di sepanjang selatan Jawa. Selat Sunda diinterpretasikan sebagai akibat perputaran relatif antara Jawa dan Sumatera yang terjadi di jaman Kenozoikum Akhir (Ninkovich, 1976; Zen, 1985), atau sebagai akibat tarikan hasil pergeseran sisi barat daya Sumatera (Sumatra sliver) ke arah barat laut di sepanjang Sesar Sumatera (Huchon dan Le Pichon, 1984).

Lempeng samudera India bergerak ke timurlaut menunjam lempeng benua Eurasia membentuk zona penunjaman aktif, sehingga wilayah perairan Indonesia di bagian barat Sumatera dan selatan Jawa disamping mempunyai potensi aspek geologi dan sumberdaya mineral serta hidrokarbon juga berpotensi terjadinya bencana geologi (gempabumi, tsunami, longsoran pantai dan gawir laut).

Bagian tengah kerak samudera India ini terbentuk suatu jalur lurus yang disebut Mid Oceanic Ridge (Pematang Tengah Samudra), sedangkan di tepian bagian timurnya atau perairan sebelah barat Sumatera terbentuk jalur punggungan lurus utara – selatan yang disebut Ninety East Ridge  (letaknya hampir berimpit dengan bujur 90 timur) diyakini  merupakan daerah mineralisasi (Usman, 2006). Pada bagian yang dalam terbentuk cekungan kerak samudera terisi oleh sedimen yang berasal dari dataran India membentuk Bengal Fan yang meluas sampai ke perairan Nias dengan ketebalan sedimen antara 2.000 – 3.000 meter (Curray, 1982; Ginco, 1999).

Daerah Pematang Tengah Samudra pada lempeng Indo-Australia merupakan implikasi dari proses Sea Floor Spereading (Pemekaran Lantai Samudera) yang mencapai puncaknya pada Miosen Akhir dengan kecepatan 6-7 cm/tahun, sebelumnya pada Oligosen awal hanya 5 cm/tahun (Katili, 2008). Gambar 2 memperlihatkan konfigurasi ideal komponen tektonik tepian lempeng aktif yang lazim terbentuk pada zona penunjaman, yang terdiri dari: palung samudera (trench), prisma akresi (accretionary prism), punggungan busur muka (forearc ridge), cekungan busur muka (forearc basin), busur gunungapi (volcanic arc), dan cekungan busur belakang (backarc basin). Busur gunungapi dan cekungan busur belakang lazimnya berada di bagian daratan atau kontinen (Lubis et al., 2007).
 

Gambar 2. Komponen tektonik ideal pada penunjaman tepian lempeng aktif (Hamilton, 1979)

Hasil  identifikasi bentuk dasar laut dari beberapa lintasan seismik, citra seabeam dan foto dasar laut, dapat dikenali beberapa bentuk geomorfologi dasar laut utama yang umum terdapat pada kawasan subduksi lempeng aktif. Empat bentuk morfologi utama dapat diidentifikasi, yaitu: zona subduksi, palung laut, prisma akresi, dan cekungan busur muka. Gambaran bentuk geomorfologi dasar laut ini kemungkinan merupakan contoh morfologi dasar laut yang terbaik dan paling komplit di dunia karena batas-batasnya yang jelas dan mudah dikenali.


Cekungan Busur Muka Simeulue

Zona subduksi terbentuk akibat gabungan proses-proses yang terjadi pada tepian kerak samudera, tepian kerak benua dan proses penunjaman itu sendiri. Sebagai konsekuensi dari proses-proses tektonik tepian aktif, maka muncul ciri-ciri proses yang mungkin terjadi diantaranya, sesar-sesar mendatar, sesar-sesar normal yang biasanya membentuk horst dan graben, serta intrusi (hot spot?) membentuk tinggian menyerupai gunungapi (seamount?) namun di luar busur volkanik, tinggian (ridge) dan cekungan busur muka seperti cekungan Simeulue-Sibolga (Gambar 3).
 
Gambar 3. Cekungan busur muka Simeulue yang terletak antara pulau Simelue dan daratan Sumatera.

Berdasarkan interpretasi seismik stratigrafi, umur sedimen pengisi cekungan ini relatif muda (Miocene) sehingga sedikit kemungkinan terjadi proses pematangan sebagai source rock hidrokarbon (IPA, 2002). Selain itu, tingkat pematangan (maturitas) batuan reservoar relatif rendah karena laju pengendapan di laut dalam relatif cepat. Demikian pula dengan kemungkinan proses pematangan diagenesa dari volcanic arc pengaruhnya relatif kecil karena jaraknya yang terlalu jauh.

Berdasarkan penemuan-penemuan karakteristik cekungan busur muka di dunia (Dickinson dan Seely,1979) serta referensi lain yang berkaitan dengan kondisi batuan sumber dan batuan reservoar cekungan busur muka adalah sbb.:


  1.  Sedimen yang berada pada prisma akresi umumnya tersusun oleh sedimen-sedimen yang over compacted sehingga mereduksi porositas sebagai batuan reservoar.
  2. Source rock di bagian barat cekungan kurang berperan sebagai batuan sumber sebab banyak diendapkan endapan turbidit dan trench fill deposit sehingga bukan merupakan batuan reservoar yang baik.
  3. Sedimen pengisi cekungan busur muka dominan berasal dari kontinen dan umurnya relatif muda (Miocene) sehingga kurang memungkinkan berperan sebagai batuan sumber (source rock) terbentuknya hidrokarbon. Tingkat pematangan (maturitas) batuan reservoir juga relatif rendah karena sumber termal berada jauh dari letak cekungan itu sendiri.
  4.  Diskontinuitas  batuan reservoar tinggi karena ketidak-stabilan tektonik dan pergeseran sedimentasi selama pengendapan, sehingga tidak memungkinkan terbentuk batuan sumber dalam lamparan yang luas. 



Review Cruise SeaCause-II Indonesia-Jerman

Survey kemitraan Indonesia (BPPT, Bakosurtanal, LIPI dan PPPGL) dan  Jerman (BGR) yaitu  Sonne Cruise 186-2 SeaCause-II dilaksanakan pada tgl. 21 Januari  – 25 Februari 2006 di perairan barat Aceh sampai ke wilayah Landas Kontinen di luar 200 mil.  Selama kegiatan tersebut telah dilaksanakan pengambilan data seismik 2D sepanjang sekitar 1500 km lintasan, yang dilengkapi dengan data-data batimetri multibeam, magnetik dan gravitasi. Sebagian kegiatan tersebut terfokus pada daerah laut dalam (deep water) cekungan Simeulue, dan hanya satu lintasan seismik yang mengikat dengan tiga lokasi bor ex Union Oil dekat pantai.

Hasil review dan re-interpretasi lintasan-lintasan seismik yang memotong sub-cekungan Simeulue yaitu lintasan 135-139 memperlihatkan indikasi sebagai berikut:
  1. Sub-cekungan Simelue merupakan bagian dari cekungan Sibolga, bentuk cekungan a-symetri, terletak pada laut dalam dengan kedalaman laut antara 1.000-500 m (Gambar 4), makin ke barat ketebalan sedimen makin tebal mencapai lebih dari 5.000 m.
  2.  Di sisi barat cekungan ini ditemukan sesar-sesar (kelanjutan Sesar Mentawai?)  yang mengontrol aktifnya sesar-sesar tumbuh (growth fault) sehingga mengakibatkan deformasi kuat struktur batuan sedimen pada tepian cekungan.
  3. Di bagian timur cekungan, ditemukan lamparan karbonat (Miocene) dan indikasi beberapa carbonate build-up Late-Miocene yang dapat berperan sebagai batuan reservoir hidrokarbon, namun belum dapat dipastikan adanya batuan dasar cekungan sebagai batuan sumber.
  4. Batuan dasar cekungan diperkirakan berumur Paleo-Oligocene, walaupun tidak ditemukan control aktifitas magmatik (sebagai sumber pematangan thermal), kecuali di bagian timur mendekati daratan Sumatera kemungkinan dipengaruhi oleh aktivitas gunungapi dari busur volkanik. Gambar 5. Memperlihatkan pola anomali magnet yang mencerminkan bentuk pola batuan dasar sub-cekungan busur muka Simeuleu.
  5. Interval antar lintasan survey yaitu > 20 km tidak dapat serta-merta mewakili seluruh kondisi cekungan sehingga korelasi antar lintasan dianggap masih terlalu jauh.
Gambar 4. Peta batimetri sekitar sub-cekungan Simeulue.

Prospek Hidrokarbon Sub-cekungan Simeulue sebagai “Second Opinion”

Berdasarkan kajian yang dilakukan PPPGL terhadap data terbatas yang tersedia maka dapat dikemukakan hal-hal berikut: 
  1. Besarnya cadangan migas hasil hitungan BPPT yaitu antara 107-320 milyar barrel, mungkin merupakan hasil hitungan sangat spekulatif untuk seluruh batuan reservoir yang dianggap homogen (asumsi volume total dari batuan karbonat Miocene sebagai kontainernya), jadi bukan cadangan terukur pada reservoar yang lazim terperangkap pada antiklin atau perangkap struktur lainnya.
  2. Interpretasi rekaman seismic 2D lazimnya hanya dapat menentukan cirri-ciri plays saja yaitu hanya mengidentifikasi kemungkinan batuan reservoir  seperti carbonate build up. Jadi belum layak digunakan untuk menghitung cadangan migas. Untuk meningkatkan status indikasi plays menjadi lead maka diperlukan data seismik tambahan dengan interval yang lebih rapat agar dapat  menentukan bentuk perangkap dan batuan tudung (cap rock, seal), dan batuan induk (source rock). Selanjutnya untuk mengetahui bahwa lead tersebut berpotensi migas maka perlu data pemboran dan analisa core sehingga statusnya meningkat menjadi prospek. 
  3. Dalam status prospek dikenal istilah cadangan probabilitas P10, P50 dan P90. Prospek telah mencantumkan hasil analisa kimia perminyakan dari core hasil pemboran, sehingga dapat diketahui kemungkinan besarnya cadangan (reserved).  Cadangan inipun masih perlu dibuktikan klasifikasinya menjadi cadangan terduga (P3), cadangan terukur (P2) dan cadangan terbukti (P1). 
  4. Oleh sebab itu, tidak mungkin menghitung cadangan migas hanya berdasarkan data seismik 2D saja. Demikian pula untuk menghitung besarnya akumulasi minyak bumi total (OOIP) pada status terbukti/mungkin/harapan dalam satuan barrel memerlukan data tambahan yaitu survey G & G (geophysics dan Geology) terutama seismik 3D serta analisa porositas batuan reservoir.
  5. Tujuan dan ijin yang diberikan oleh pihak-pihak yang berwenang pada survey kemitraan dengan BGR (Jerman) ini adalah survey saintifik murni tentang Geo-risk potential pasca tsunami Aceh, bukan ditujukan secara khusus untuk  pencarian potensi migas (hydrocarbon hunting),  sehingga metode dan kelengkapan peralatan seismik yang digunakan dalam survey ini belum memenuhi standar industri pada suatu eksplorasi hidrokarbon.

Gambar 5. Peta anomaly magnet yang memperlihatkan bentuk batuan dasar cekungan busur muka.

Kesimpulan
  1.  Kajian geologi dan proses tektonogenesa sub-cekungan busur muka Simeulue yang terletak di lepas pantai barat Aceh, menunjukkan bahwa sedimen pengisi cekungan dominan berasal dari produk volkanik daratan Sumatera. Sediman klastik berbutir halus yang mengisi cekungan bagian atas bukan merupakan batuan tudung (seal) yang baik bagi suatu perangkap hidrokarbon.
  2. Berdasarkan analisa seismik stratigrafi dan seismic facies, sedimen pengisi cekungan memperlihatkan telah terdeformasi rendah dicirikan oleh adanya bentuk-bentuk pelipatan yang lemah. Perkiraan ketebalan sedimen di bagian barat sekitar 6.000 meter, sedangkan di bagian timur hanya mencapai 3.000 meter.
  3. Sedimen pengisi sub-cekungan Simeuleu memiliki ketebalan yang relatif cukup tebal sehingga memang masih memungkinkan sebagai cekungan berpotensi hidrokarbon jika dieksplorasi lebih lanjut, walaupun masih dalam kualifikasi pesimis secara ekonomis.

PROSES PEMBENTUKAN MINYAK BUMI



Membahas identifikasi minyak bumi tidak dapat lepas dari bahasan teori pembentukan minyak bumi dan kondisi pembentukannya yang membuat suatu minyak bumi menjadi spesifik dan tidak sama antara suatu minyak bumi dengan minyak bumi lainnya. Karena saya adalah seorang chemist, maka pendekatan yang saya lakukan lebih banyak kepada aspek kimianya daripada dari aspek geologi. Pemahaman tentang proses pembentukan minyak bumi akan diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk menginterpretasikan hasil identifikasi. Ada banyak hipotesa tentang terbentuknya minyak bumi yang dikemukakan oleh para ahli, beberapa diantaranya adalah : 

1.      Teori Biogenesis (Organik) 
 Macqiur (Perancis, 1758) merupakan orang yang pertama kali mengemukakan pendapat bahwa minyak bumi berasal dari tumbuh-tumbuhan. Kemudian M.W. Lamanosow (Rusia, 1763) juga mengemukakan hal yang sama. Pendapat di atas juga didukung oleh sarjana lainnya seperti, New Beery (1859), Engler (1909), Bruk (1936), Bearl (1938) dan Hofer. Mereka menyatakan bahwa: “minyak dan gas bumi berasal dari organisme laut yang telah mati berjuta-juta tahun yang lalu dan membentuk sebuah lapisan dalam perut bumi.” 

2.      Teori Abiogenesis (Anorganik) 
Barthelot (1866) mengemukakan bahwa di dalam minyak bumi terdapat logam alkali, yang dalam keadaan bebas dengan temperatur tinggi akan bersentuhan dengan CO2 membentuk asitilena. Kemudian Mandeleyev (1877) mengemukakan bahwa minyak bumi terbentuk akibat adanya pengaruh kerja uap pada karbida-karbida logam dalam bumi. Yang lebih ekstrim lagi adalah pernyataan beberapa ahli yang mengemukakan bahwa minyak bumi mulai terbentuk sejak zaman prasejarah, jauh sebelum bumi terbentuk dan bersamaan dengan proses terbentuknya bumi. Pernyataan tersebut berdasarkan fakta ditemukannya material hidrokarbon dalam beberapa batuan meteor dan di atmosfir beberapa planet lain.



Dari sekian banyak hipotesa tersebut yang sering dikemukakan adalah Teori Biogenesis, karena lebih bisa. Teori pembentukan minyak bumi terus berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi dan teknik analisis minyak bumi, sampai kemudian pada tahun 1984 G. D. Hobson dalam tulisannya yang berjudul “The Occurrence and Origin of Oil and Gas”.

Berdasarkan teori Biogenesis, minyak bumi terbentuk karena adanya kebocoran kecil yang permanen dalam siklus karbon. Siklus karbon ini terjadi antara atmosfir dengan permukaan bumi, yang digambarkan dengan dua panah dengan arah yang berlawanan, dimana karbon diangkut dalam bentuk karbon dioksida (CO2). Pada arah pertama, karbon dioksida di atmosfir berasimilasi, artinya CO2 diekstrak dari atmosfir oleh organisme fotosintetik darat dan laut.

Pada arah yang kedua CO2 dibebaskan kembali ke atmosfir melalui respirasi makhluk hidup (tumbuhan, hewan dan mikroorganisme). Dalam proses ini, terjadi kebocoran kecil yang memungkinkan satu bagian kecil karbon yang tidak dibebaskan kembali ke atmosfir dalam bentuk CO2, tetapi mengalami transformasi yang akhirnya menjadi fosil yang dapat terbakar. Bahan bakar fosil ini jumlahnya hanya kecil sekali. Bahan organik yang mengalami oksidasi selama pemendaman. Akibatnya, bagian utama dari karbon organik dalam bentuk karbonat menjadi sangat kecil jumlahnya dalam batuan sedimen.

Pada mulanya senyawa tersebut (seperti karbohidrat, protein dan lemak) diproduksi oleh makhluk hidup sesuai dengan kebutuhannya, seperti untuk mempertahankan diri, untuk berkembang biak atau sebagai komponen fisik dan makhluk hidup itu. Komponen yang dimaksud dapat berupa konstituen sel, membran, pigmen, lemak, gula atau protein dari tumbuh-tumbuhan, cendawan, jamur, protozoa, bakteri, invertebrata ataupun binatang berdarah dingin dan panas, sehingga dapat ditemukan di udara, pada permukaan, dalam air atau dalam tanah.

Apabila makhluk hidup tersebut mati, maka 99,9% senyawa karbon dan makhluk hidup akan kembali mengalami siklus sebagai rantai makanan, sedangkan sisanya 0,1% senyawa karbon terjebak dalam tanah dan dalam sedimen. Inilah yang merupakan cikal bakal senyawa-senyawa fosil atau dikenal juga sebagai embrio minyak bumi.

Embrio ini mengalami perpindahan dan akan menumpuk di salah satu tempat yang kemungkinan menjadi reservoar dan ada yang hanyut bersama aliran air sehingga menumpuk di bawah dasar laut, dan ada juga karena perbedaan tekanan di bawah laut muncul ke permukaan lalu menumpuk di permukaan dan ada pula yang terendapkan di permukaan laut dalam yang arusnya kecil.

Embrio kecil ini menumpuk dalam kondisi lingkungan lembab, gelap dan berbau tidak sedap di antara mineral-mineral dan sedimen, lalu membentuk molekul besar yang dikenal dengan geopolimer. Senyawa-senyawa organik yang terpendam ini akan tetap dengan karakter masing-masing yang spesifik sesuai dengan bahan dan lingkungan pembentukannya. Selanjutnya senyawa organik ini akan mengalami proses geologi dalam perut bumi. Pertama akanmengalami proses diagenesis, dimana senyawa organik dan makhluk hidup sudah merupakan senyawa mati dan terkubur sampai 600 meter saja di bawah permukaan dan lingkungan bersuhu di bawah 50°C.

Pada kondisi ini senyawa-senyawa organik yang berasal dan makhluk hidup mulai kehilangan gugus beroksigen akibat reaksi dekarboksilasi dan dehidratasi. Semakin dalam pemendaman terjadi, semakin panas lingkungannya, penam-bahan kedalaman 30 – 40 m akan menaik-kan temperatur 1°C. Di kedalaman lebih dan 600 m sampai 3000 m, suhu pemendaman akan berkisar antara 50 – 150 °C, proses geologi kedua yang disebut katagenesis akan berlangsung, maka geopolimer yang terpendam mulal terurai akibat panas bumi.

Komponen-komponen minyak bumi pada proses ini mulai terbentuk dan senyawa–senyawa karakteristik yang berasal dan makhluk hidup tertentu kembali dibebaskan dari molekul. Bila kedalaman terus berlanjut ke arah pusat bumi, temperatur semakin naik, dan jika kedalaman melebihi 3000 m dan suhu di atas 150°C, maka bahan-bahan organik dapat terurai menjadi gas bermolekul kecil, dan proses ini disebut metagenesis.

Setelah proses geologi ini dilewati, minyak bumi sudah terbentuk bersama-sama dengan bio-marka. Fosil molekul yang sudah terbentuk ini akan mengalami perpindahan (migrasi) karena kondisi lingkungan atau kerak bumi yang selalu bergerak rata-rata sejauh 5 cm per tahun, sehingga akan ter-perangkap pada suatu batuan berpori, atau selanjutnya akan bermigrasi membentuk suatu sumur minyak. Apabila dicuplik batuan yang memenjara minyak ini (batuan induk) atau minyak yang terperangkap dalam rongga bumi, akan ditemukan fosil senyawa-senyawa organik. Fosil-fosil senyawa inilah yang ditentukan strukturnya menggunaan be-berapa metoda analisis, sehingga dapat menerangkan asal-usul fosil, bahan pembentuk, migrasi minyak bumi serta hubungan antara suatu minyak bumi dengan minyak bumi lain dan hubungan minyak bumi dengan batuan induk.