Senin, 17 Desember 2012

PETA BATHIMETRI

 Berita pada media cetak Jakarta Post, 11 Februari 2008 serta munculnya polemik yang berkembang pada media elektronik tentang ditemukanya cadangan migas raksasa oleh BPPT di cekungan busur muka Simeulue yang terletak di lepas pantai sebelah barat Aceh dengan perkiraan cadangan mencapai 320 milyar barrel telah mengundang berbagai reaksi dari kalangan ahli geologi dan perminyakan Indonesia, karena angka cadangan yang dikemukakan termasuk spektakuler untuk ukuran cadangan pada cekungan-cekungan di Indonesia. Sebagai pembanding bahwa Saudi Arabia, yang mempunyai cekungan-cekungan raksasa dan cadangan terbesar di dunia, hanya mempunyai cadangan terbukti sebesar 264,21 milyar barrel.

Cekungan Simeulue telah menjadi target eksplorasi potensi hidrokarbon sejak tahun 1968 hingga 1978 ketika perusahaan Union Oil melaksanakan kontrak kerjasama eksplorasi. Selama waktu tersebut beberapa pemboran eksplorasi telah dilaksanakan, terutama di daerah dekat pantai pada kedalaman laut kurang dari 200 m (Rose, 1983). Tiga sumur menemukan indikasi adanya akumulasi gas dalam batuan karbonat, tetapi tidak satupun mengindikasikan nilai komersial.

Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL), Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen ESDM, sebagai salah satu institusi pemerintah yang mempunyai tugas pokok melaksanakan berbagai penelitian potensi sumber daya mineral dan energi di laut, juga telah melakukan kajian saintifik terhadap beberapa data  seismik yang tersedia di kawasan tersebut. Gambar 1. memperlihatkan fisiografi terbentuknya zona subduksi, prisma akresi, dan cekungan busur luar di sepanjang tepian lempeng aktif Sumatera yang terdiri dari cekungan Simeulue-Sibolga, cekungan Nias dan cekungan Mentawai-Bengkulu.


Gambar 1. Fisiografi cekungan busur muka di sebelah barat Sumatera

Beberapa data seismik yang berkaitan dengan potensi hidrokarbon pada cekungan busur muka di kawasan lain juga digunakan sebagai data pembanding. Berdasarkan beberapa kajian sebelumnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti dikawasan ini seperti kajian seismik stratigrafi beberapa cekungan busur muka di cekungan southwest Sumatera dan southwest Java (postdoc project Susilohadi bersama BGR, 2005) menggunakan data RV Sonne SO137  juga tidak memperlihatkan potensi hidrokarbon yang signifikan pada cekungan-cekungan busur muka.

Demikian pula, hasil review beberapa publikasi yang berkaitan dengan potensi hidrokarbon pada cekungan busur muka, diantaranya Cruise Report and Preliminary Result SO186-2 (Gaedicke, dkk., 2006); Cruise Report SO200-2 (2009); dan Techtonics and Structural Style of Lombok and Savu Basins, Snellius II Expedition (van Weering, dkk., 1986) juga tidak menunjukan kemungkinan adanya potensi hidrokarbon yang berlimpah.

Oleh sebab itulah, pernyataan bahwa sub-cekungan busur muka Simeulue memiliki cadangan migas terukur atau Original Oil in Place (OOIP, dalam satuan barrel), dirasakan merupakan pernyataan yang terlalu dini tanpa dukungan data test laboratorium perminyakan lainnya


Model Tektonik Tepian Lempeng Aktif (Active Plate Margin)

Pergerakan relatif antara Lempeng India-Australia dan Eurasian selama Kenozoikum terekam secara jelas oleh data-data paleomagnetic dan anomali-anomali magnetik pada kerak samudera. Berdasarkan hal-hal tersebut, berbagai model rekonstruksi geologi di Indonesia bagian barat telah bermunculan, seperti: Daly dkk. (1987), Rangin dkk. (1999), Longley (1997), dan Hall (1996, 1997). Sejak awal Kenozoikum lempeng India dan Australia telah menyatu dan bergerak ke arah utara relatif terhadap lempeng Eurasia (Liu dkk., 1983; Hall, 1997, 1998).

Tumbukan antar lempeng tersebut di barat daya paparan Sunda dimulai pada jaman Kapur (Katili, 1975; Hamilton, 1979), dan menjadi sangat aktif selama Paleosen dengan mencapai kecepatan penunjaman hingga lebih dari 15 cm/tahun (Molnar & Tapponier, 1975; Karig dkk., 1979). Penurunan kecepatan hingga 3 cm/tahun terjadi pada jaman Eosen Tengah ketika Benua India mulai bertemu dengan Benua Eurasia (Karig dkk., 1979). Pada saat tersebut banyak cekungan-cekungan mulai terbentuk karena adanya gaya-gaya tarikan di daerah Indonesia bagian barat (Daly dkk., 1991; Hall, 1996, 1997).

Pada jaman Eosen Akhir hingga Oligosen Awal pemekaran (spreading) kerak samudera terjadi kembali di Lautan Hindia hingga memungkinkan adanya perubahan arah tumbukan lempeng Indo-Australia menjadi timur laut dan kecepatan penunjaman lempeng tersebut di sepanjang tepian Sumatera dan Jawa menjadi konstan 5-6 cm/tahun (Liu dkk., 1983; Karig dkk., 1979; Daly dkk. 1987, Hall, 1996, 1997). Hal tersebut pada akhirnya akan mengawali pembentukan cekungan busur muka pada jaman Neogen di sepanjang busur Sunda.

Tumbukan India dengan Eurasia pada jaman Oligosen Akhir hingga Miosen Awal juga telah mengakibatkan sejumlah besar sedimen daratan (terrigenous) diendapkan di Lautan Hindia dan Palung Sunda. Sedimen tersebut terakumulasi dengan cepat hingga memungkinkan pembentukan prisma akresi (Matson dan Moore, 1992).

Pada Miosen Tengah bagian tenggara lempeng benua Eurasia mengalami perputaran (Hall, 1997). Perputaran tersebut telah mengakibatkan bertambahnya kemiringan posisi bagian barat Busur Sunda relatif terhadap gerakan lempeng  Indo-Australian dan disertai dengan kegiatan magmatik yang kuat (Simanjuntak & Barber, 1996; Hall, 1996, 1997). Posisi penunjaman yang miring di barat daya Sumatera tersebut juga menyebabkan adanya pemisahan gaya tekanan tektonik (partition of strain) ke arah tegak lurus zona penunjaman yang mengakibatkan persesaran naik dalam prisma akresi, dan ke arah sejajar zona penunjaman yang diwujudkan dengan munculnya sistem Sesar Sumatera (Katili, 1973; Hamilton, 1979; Moore, dkk. 1980; McCaffrey, 1991 & 2000; Malod dkk., 1995) dan Sesar Mentawai (Diament dkk., 1992).

Selat Sunda mencerminkan daerah transisi antara daerah dengan penunjaman miring di sepanjang barat Sumatera dan daerah dengan penunjaman tegak lurus (frontal) di sepanjang selatan Jawa. Selat Sunda diinterpretasikan sebagai akibat perputaran relatif antara Jawa dan Sumatera yang terjadi di jaman Kenozoikum Akhir (Ninkovich, 1976; Zen, 1985), atau sebagai akibat tarikan hasil pergeseran sisi barat daya Sumatera (Sumatra sliver) ke arah barat laut di sepanjang Sesar Sumatera (Huchon dan Le Pichon, 1984).

Lempeng samudera India bergerak ke timurlaut menunjam lempeng benua Eurasia membentuk zona penunjaman aktif, sehingga wilayah perairan Indonesia di bagian barat Sumatera dan selatan Jawa disamping mempunyai potensi aspek geologi dan sumberdaya mineral serta hidrokarbon juga berpotensi terjadinya bencana geologi (gempabumi, tsunami, longsoran pantai dan gawir laut).

Bagian tengah kerak samudera India ini terbentuk suatu jalur lurus yang disebut Mid Oceanic Ridge (Pematang Tengah Samudra), sedangkan di tepian bagian timurnya atau perairan sebelah barat Sumatera terbentuk jalur punggungan lurus utara – selatan yang disebut Ninety East Ridge  (letaknya hampir berimpit dengan bujur 90 timur) diyakini  merupakan daerah mineralisasi (Usman, 2006). Pada bagian yang dalam terbentuk cekungan kerak samudera terisi oleh sedimen yang berasal dari dataran India membentuk Bengal Fan yang meluas sampai ke perairan Nias dengan ketebalan sedimen antara 2.000 – 3.000 meter (Curray, 1982; Ginco, 1999).

Daerah Pematang Tengah Samudra pada lempeng Indo-Australia merupakan implikasi dari proses Sea Floor Spereading (Pemekaran Lantai Samudera) yang mencapai puncaknya pada Miosen Akhir dengan kecepatan 6-7 cm/tahun, sebelumnya pada Oligosen awal hanya 5 cm/tahun (Katili, 2008). Gambar 2 memperlihatkan konfigurasi ideal komponen tektonik tepian lempeng aktif yang lazim terbentuk pada zona penunjaman, yang terdiri dari: palung samudera (trench), prisma akresi (accretionary prism), punggungan busur muka (forearc ridge), cekungan busur muka (forearc basin), busur gunungapi (volcanic arc), dan cekungan busur belakang (backarc basin). Busur gunungapi dan cekungan busur belakang lazimnya berada di bagian daratan atau kontinen (Lubis et al., 2007).
 

Gambar 2. Komponen tektonik ideal pada penunjaman tepian lempeng aktif (Hamilton, 1979)

Hasil  identifikasi bentuk dasar laut dari beberapa lintasan seismik, citra seabeam dan foto dasar laut, dapat dikenali beberapa bentuk geomorfologi dasar laut utama yang umum terdapat pada kawasan subduksi lempeng aktif. Empat bentuk morfologi utama dapat diidentifikasi, yaitu: zona subduksi, palung laut, prisma akresi, dan cekungan busur muka. Gambaran bentuk geomorfologi dasar laut ini kemungkinan merupakan contoh morfologi dasar laut yang terbaik dan paling komplit di dunia karena batas-batasnya yang jelas dan mudah dikenali.


Cekungan Busur Muka Simeulue

Zona subduksi terbentuk akibat gabungan proses-proses yang terjadi pada tepian kerak samudera, tepian kerak benua dan proses penunjaman itu sendiri. Sebagai konsekuensi dari proses-proses tektonik tepian aktif, maka muncul ciri-ciri proses yang mungkin terjadi diantaranya, sesar-sesar mendatar, sesar-sesar normal yang biasanya membentuk horst dan graben, serta intrusi (hot spot?) membentuk tinggian menyerupai gunungapi (seamount?) namun di luar busur volkanik, tinggian (ridge) dan cekungan busur muka seperti cekungan Simeulue-Sibolga (Gambar 3).
 
Gambar 3. Cekungan busur muka Simeulue yang terletak antara pulau Simelue dan daratan Sumatera.

Berdasarkan interpretasi seismik stratigrafi, umur sedimen pengisi cekungan ini relatif muda (Miocene) sehingga sedikit kemungkinan terjadi proses pematangan sebagai source rock hidrokarbon (IPA, 2002). Selain itu, tingkat pematangan (maturitas) batuan reservoar relatif rendah karena laju pengendapan di laut dalam relatif cepat. Demikian pula dengan kemungkinan proses pematangan diagenesa dari volcanic arc pengaruhnya relatif kecil karena jaraknya yang terlalu jauh.

Berdasarkan penemuan-penemuan karakteristik cekungan busur muka di dunia (Dickinson dan Seely,1979) serta referensi lain yang berkaitan dengan kondisi batuan sumber dan batuan reservoar cekungan busur muka adalah sbb.:


  1.  Sedimen yang berada pada prisma akresi umumnya tersusun oleh sedimen-sedimen yang over compacted sehingga mereduksi porositas sebagai batuan reservoar.
  2. Source rock di bagian barat cekungan kurang berperan sebagai batuan sumber sebab banyak diendapkan endapan turbidit dan trench fill deposit sehingga bukan merupakan batuan reservoar yang baik.
  3. Sedimen pengisi cekungan busur muka dominan berasal dari kontinen dan umurnya relatif muda (Miocene) sehingga kurang memungkinkan berperan sebagai batuan sumber (source rock) terbentuknya hidrokarbon. Tingkat pematangan (maturitas) batuan reservoir juga relatif rendah karena sumber termal berada jauh dari letak cekungan itu sendiri.
  4.  Diskontinuitas  batuan reservoar tinggi karena ketidak-stabilan tektonik dan pergeseran sedimentasi selama pengendapan, sehingga tidak memungkinkan terbentuk batuan sumber dalam lamparan yang luas. 



Review Cruise SeaCause-II Indonesia-Jerman

Survey kemitraan Indonesia (BPPT, Bakosurtanal, LIPI dan PPPGL) dan  Jerman (BGR) yaitu  Sonne Cruise 186-2 SeaCause-II dilaksanakan pada tgl. 21 Januari  – 25 Februari 2006 di perairan barat Aceh sampai ke wilayah Landas Kontinen di luar 200 mil.  Selama kegiatan tersebut telah dilaksanakan pengambilan data seismik 2D sepanjang sekitar 1500 km lintasan, yang dilengkapi dengan data-data batimetri multibeam, magnetik dan gravitasi. Sebagian kegiatan tersebut terfokus pada daerah laut dalam (deep water) cekungan Simeulue, dan hanya satu lintasan seismik yang mengikat dengan tiga lokasi bor ex Union Oil dekat pantai.

Hasil review dan re-interpretasi lintasan-lintasan seismik yang memotong sub-cekungan Simeulue yaitu lintasan 135-139 memperlihatkan indikasi sebagai berikut:
  1. Sub-cekungan Simelue merupakan bagian dari cekungan Sibolga, bentuk cekungan a-symetri, terletak pada laut dalam dengan kedalaman laut antara 1.000-500 m (Gambar 4), makin ke barat ketebalan sedimen makin tebal mencapai lebih dari 5.000 m.
  2.  Di sisi barat cekungan ini ditemukan sesar-sesar (kelanjutan Sesar Mentawai?)  yang mengontrol aktifnya sesar-sesar tumbuh (growth fault) sehingga mengakibatkan deformasi kuat struktur batuan sedimen pada tepian cekungan.
  3. Di bagian timur cekungan, ditemukan lamparan karbonat (Miocene) dan indikasi beberapa carbonate build-up Late-Miocene yang dapat berperan sebagai batuan reservoir hidrokarbon, namun belum dapat dipastikan adanya batuan dasar cekungan sebagai batuan sumber.
  4. Batuan dasar cekungan diperkirakan berumur Paleo-Oligocene, walaupun tidak ditemukan control aktifitas magmatik (sebagai sumber pematangan thermal), kecuali di bagian timur mendekati daratan Sumatera kemungkinan dipengaruhi oleh aktivitas gunungapi dari busur volkanik. Gambar 5. Memperlihatkan pola anomali magnet yang mencerminkan bentuk pola batuan dasar sub-cekungan busur muka Simeuleu.
  5. Interval antar lintasan survey yaitu > 20 km tidak dapat serta-merta mewakili seluruh kondisi cekungan sehingga korelasi antar lintasan dianggap masih terlalu jauh.
Gambar 4. Peta batimetri sekitar sub-cekungan Simeulue.

Prospek Hidrokarbon Sub-cekungan Simeulue sebagai “Second Opinion”

Berdasarkan kajian yang dilakukan PPPGL terhadap data terbatas yang tersedia maka dapat dikemukakan hal-hal berikut: 
  1. Besarnya cadangan migas hasil hitungan BPPT yaitu antara 107-320 milyar barrel, mungkin merupakan hasil hitungan sangat spekulatif untuk seluruh batuan reservoir yang dianggap homogen (asumsi volume total dari batuan karbonat Miocene sebagai kontainernya), jadi bukan cadangan terukur pada reservoar yang lazim terperangkap pada antiklin atau perangkap struktur lainnya.
  2. Interpretasi rekaman seismic 2D lazimnya hanya dapat menentukan cirri-ciri plays saja yaitu hanya mengidentifikasi kemungkinan batuan reservoir  seperti carbonate build up. Jadi belum layak digunakan untuk menghitung cadangan migas. Untuk meningkatkan status indikasi plays menjadi lead maka diperlukan data seismik tambahan dengan interval yang lebih rapat agar dapat  menentukan bentuk perangkap dan batuan tudung (cap rock, seal), dan batuan induk (source rock). Selanjutnya untuk mengetahui bahwa lead tersebut berpotensi migas maka perlu data pemboran dan analisa core sehingga statusnya meningkat menjadi prospek. 
  3. Dalam status prospek dikenal istilah cadangan probabilitas P10, P50 dan P90. Prospek telah mencantumkan hasil analisa kimia perminyakan dari core hasil pemboran, sehingga dapat diketahui kemungkinan besarnya cadangan (reserved).  Cadangan inipun masih perlu dibuktikan klasifikasinya menjadi cadangan terduga (P3), cadangan terukur (P2) dan cadangan terbukti (P1). 
  4. Oleh sebab itu, tidak mungkin menghitung cadangan migas hanya berdasarkan data seismik 2D saja. Demikian pula untuk menghitung besarnya akumulasi minyak bumi total (OOIP) pada status terbukti/mungkin/harapan dalam satuan barrel memerlukan data tambahan yaitu survey G & G (geophysics dan Geology) terutama seismik 3D serta analisa porositas batuan reservoir.
  5. Tujuan dan ijin yang diberikan oleh pihak-pihak yang berwenang pada survey kemitraan dengan BGR (Jerman) ini adalah survey saintifik murni tentang Geo-risk potential pasca tsunami Aceh, bukan ditujukan secara khusus untuk  pencarian potensi migas (hydrocarbon hunting),  sehingga metode dan kelengkapan peralatan seismik yang digunakan dalam survey ini belum memenuhi standar industri pada suatu eksplorasi hidrokarbon.

Gambar 5. Peta anomaly magnet yang memperlihatkan bentuk batuan dasar cekungan busur muka.

Kesimpulan
  1.  Kajian geologi dan proses tektonogenesa sub-cekungan busur muka Simeulue yang terletak di lepas pantai barat Aceh, menunjukkan bahwa sedimen pengisi cekungan dominan berasal dari produk volkanik daratan Sumatera. Sediman klastik berbutir halus yang mengisi cekungan bagian atas bukan merupakan batuan tudung (seal) yang baik bagi suatu perangkap hidrokarbon.
  2. Berdasarkan analisa seismik stratigrafi dan seismic facies, sedimen pengisi cekungan memperlihatkan telah terdeformasi rendah dicirikan oleh adanya bentuk-bentuk pelipatan yang lemah. Perkiraan ketebalan sedimen di bagian barat sekitar 6.000 meter, sedangkan di bagian timur hanya mencapai 3.000 meter.
  3. Sedimen pengisi sub-cekungan Simeuleu memiliki ketebalan yang relatif cukup tebal sehingga memang masih memungkinkan sebagai cekungan berpotensi hidrokarbon jika dieksplorasi lebih lanjut, walaupun masih dalam kualifikasi pesimis secara ekonomis.

PROSES PEMBENTUKAN MINYAK BUMI



Membahas identifikasi minyak bumi tidak dapat lepas dari bahasan teori pembentukan minyak bumi dan kondisi pembentukannya yang membuat suatu minyak bumi menjadi spesifik dan tidak sama antara suatu minyak bumi dengan minyak bumi lainnya. Karena saya adalah seorang chemist, maka pendekatan yang saya lakukan lebih banyak kepada aspek kimianya daripada dari aspek geologi. Pemahaman tentang proses pembentukan minyak bumi akan diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk menginterpretasikan hasil identifikasi. Ada banyak hipotesa tentang terbentuknya minyak bumi yang dikemukakan oleh para ahli, beberapa diantaranya adalah : 

1.      Teori Biogenesis (Organik) 
 Macqiur (Perancis, 1758) merupakan orang yang pertama kali mengemukakan pendapat bahwa minyak bumi berasal dari tumbuh-tumbuhan. Kemudian M.W. Lamanosow (Rusia, 1763) juga mengemukakan hal yang sama. Pendapat di atas juga didukung oleh sarjana lainnya seperti, New Beery (1859), Engler (1909), Bruk (1936), Bearl (1938) dan Hofer. Mereka menyatakan bahwa: “minyak dan gas bumi berasal dari organisme laut yang telah mati berjuta-juta tahun yang lalu dan membentuk sebuah lapisan dalam perut bumi.” 

2.      Teori Abiogenesis (Anorganik) 
Barthelot (1866) mengemukakan bahwa di dalam minyak bumi terdapat logam alkali, yang dalam keadaan bebas dengan temperatur tinggi akan bersentuhan dengan CO2 membentuk asitilena. Kemudian Mandeleyev (1877) mengemukakan bahwa minyak bumi terbentuk akibat adanya pengaruh kerja uap pada karbida-karbida logam dalam bumi. Yang lebih ekstrim lagi adalah pernyataan beberapa ahli yang mengemukakan bahwa minyak bumi mulai terbentuk sejak zaman prasejarah, jauh sebelum bumi terbentuk dan bersamaan dengan proses terbentuknya bumi. Pernyataan tersebut berdasarkan fakta ditemukannya material hidrokarbon dalam beberapa batuan meteor dan di atmosfir beberapa planet lain.



Dari sekian banyak hipotesa tersebut yang sering dikemukakan adalah Teori Biogenesis, karena lebih bisa. Teori pembentukan minyak bumi terus berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi dan teknik analisis minyak bumi, sampai kemudian pada tahun 1984 G. D. Hobson dalam tulisannya yang berjudul “The Occurrence and Origin of Oil and Gas”.

Berdasarkan teori Biogenesis, minyak bumi terbentuk karena adanya kebocoran kecil yang permanen dalam siklus karbon. Siklus karbon ini terjadi antara atmosfir dengan permukaan bumi, yang digambarkan dengan dua panah dengan arah yang berlawanan, dimana karbon diangkut dalam bentuk karbon dioksida (CO2). Pada arah pertama, karbon dioksida di atmosfir berasimilasi, artinya CO2 diekstrak dari atmosfir oleh organisme fotosintetik darat dan laut.

Pada arah yang kedua CO2 dibebaskan kembali ke atmosfir melalui respirasi makhluk hidup (tumbuhan, hewan dan mikroorganisme). Dalam proses ini, terjadi kebocoran kecil yang memungkinkan satu bagian kecil karbon yang tidak dibebaskan kembali ke atmosfir dalam bentuk CO2, tetapi mengalami transformasi yang akhirnya menjadi fosil yang dapat terbakar. Bahan bakar fosil ini jumlahnya hanya kecil sekali. Bahan organik yang mengalami oksidasi selama pemendaman. Akibatnya, bagian utama dari karbon organik dalam bentuk karbonat menjadi sangat kecil jumlahnya dalam batuan sedimen.

Pada mulanya senyawa tersebut (seperti karbohidrat, protein dan lemak) diproduksi oleh makhluk hidup sesuai dengan kebutuhannya, seperti untuk mempertahankan diri, untuk berkembang biak atau sebagai komponen fisik dan makhluk hidup itu. Komponen yang dimaksud dapat berupa konstituen sel, membran, pigmen, lemak, gula atau protein dari tumbuh-tumbuhan, cendawan, jamur, protozoa, bakteri, invertebrata ataupun binatang berdarah dingin dan panas, sehingga dapat ditemukan di udara, pada permukaan, dalam air atau dalam tanah.

Apabila makhluk hidup tersebut mati, maka 99,9% senyawa karbon dan makhluk hidup akan kembali mengalami siklus sebagai rantai makanan, sedangkan sisanya 0,1% senyawa karbon terjebak dalam tanah dan dalam sedimen. Inilah yang merupakan cikal bakal senyawa-senyawa fosil atau dikenal juga sebagai embrio minyak bumi.

Embrio ini mengalami perpindahan dan akan menumpuk di salah satu tempat yang kemungkinan menjadi reservoar dan ada yang hanyut bersama aliran air sehingga menumpuk di bawah dasar laut, dan ada juga karena perbedaan tekanan di bawah laut muncul ke permukaan lalu menumpuk di permukaan dan ada pula yang terendapkan di permukaan laut dalam yang arusnya kecil.

Embrio kecil ini menumpuk dalam kondisi lingkungan lembab, gelap dan berbau tidak sedap di antara mineral-mineral dan sedimen, lalu membentuk molekul besar yang dikenal dengan geopolimer. Senyawa-senyawa organik yang terpendam ini akan tetap dengan karakter masing-masing yang spesifik sesuai dengan bahan dan lingkungan pembentukannya. Selanjutnya senyawa organik ini akan mengalami proses geologi dalam perut bumi. Pertama akanmengalami proses diagenesis, dimana senyawa organik dan makhluk hidup sudah merupakan senyawa mati dan terkubur sampai 600 meter saja di bawah permukaan dan lingkungan bersuhu di bawah 50°C.

Pada kondisi ini senyawa-senyawa organik yang berasal dan makhluk hidup mulai kehilangan gugus beroksigen akibat reaksi dekarboksilasi dan dehidratasi. Semakin dalam pemendaman terjadi, semakin panas lingkungannya, penam-bahan kedalaman 30 – 40 m akan menaik-kan temperatur 1°C. Di kedalaman lebih dan 600 m sampai 3000 m, suhu pemendaman akan berkisar antara 50 – 150 °C, proses geologi kedua yang disebut katagenesis akan berlangsung, maka geopolimer yang terpendam mulal terurai akibat panas bumi.

Komponen-komponen minyak bumi pada proses ini mulai terbentuk dan senyawa–senyawa karakteristik yang berasal dan makhluk hidup tertentu kembali dibebaskan dari molekul. Bila kedalaman terus berlanjut ke arah pusat bumi, temperatur semakin naik, dan jika kedalaman melebihi 3000 m dan suhu di atas 150°C, maka bahan-bahan organik dapat terurai menjadi gas bermolekul kecil, dan proses ini disebut metagenesis.

Setelah proses geologi ini dilewati, minyak bumi sudah terbentuk bersama-sama dengan bio-marka. Fosil molekul yang sudah terbentuk ini akan mengalami perpindahan (migrasi) karena kondisi lingkungan atau kerak bumi yang selalu bergerak rata-rata sejauh 5 cm per tahun, sehingga akan ter-perangkap pada suatu batuan berpori, atau selanjutnya akan bermigrasi membentuk suatu sumur minyak. Apabila dicuplik batuan yang memenjara minyak ini (batuan induk) atau minyak yang terperangkap dalam rongga bumi, akan ditemukan fosil senyawa-senyawa organik. Fosil-fosil senyawa inilah yang ditentukan strukturnya menggunaan be-berapa metoda analisis, sehingga dapat menerangkan asal-usul fosil, bahan pembentuk, migrasi minyak bumi serta hubungan antara suatu minyak bumi dengan minyak bumi lain dan hubungan minyak bumi dengan batuan induk.

Minggu, 09 Desember 2012

PRESIPITASI



A. Pengertian Presipitasi
Presipitasi adalah curah hujan atau turunnya air dari atmosfer ke permukaan bumi dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di daerah tropis dan curah hujan serta salju dan di daerah beriklim sedang. Presipitasi merupakan peristiwa klimatik yang bersifat alamiah yaitu perubahan bentuk dari uap air di atmosfer menjadi curah hujan sebagai akibat proses kondensasi.
Presipitasi adalah faktor utama yang mengendalikan berlangsungnya daur hidrologi dalam suatu wilayah (merupakan elemen utama yang perlu diketahui mendasari pemahaman tentang kelembaban tanah, proses peresapan air tanah, dan debit aliran).
Presipitasi mempunyai banyak karakteristik yang dapat mempengaruhi produk akhir suatu hasil perncanaan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Besar kecilnya presipitasi, waktu berlangsungnya hujan, dan ukuran serta intensitas hujan yang terjadi, baik secara sendiri-sendiri atau merupakan kombinasi akan mempengaruhi kegiatan pembangunan wilayah.

B. Istilah-istilah terkait dengan presipitasi
1. Tebal hujan (rain depth) merupakan jumlah presipitasi yang terjadi, dinyatakan sebagai tebal lapisan air di atas permukaan tanah. Satuannnya mm atau inch.
2. Durasi hujan (duration of rainfall) adalah lamanya presipitasi berlangsung. Satuannya menit atau jam
3. Intensitas hujan (rainfall intensity) adalah laju presipitasi/ kederasan hujan/intensitas hujan, merupakan kedalaman atau ketinggian air yang jatuh per satuan waktu. Satuannya mm/menit, mm/jam, atau inch/jam.
4. Frekuensi hujan (return periode).adalah banyak kejadian hujan berlangsung, umumnya dinyatakan dengan periode ulang.

C. Mekanisme Hujan
Hujan terjadi karena adanya perpindahan massa air basah ke tempat yang lebih tinggi sebagai respon adanya perbedaan tekanan udara antara dua tempat yang berbeda ketinggiannya. Di tempat tersebut karena adanya akumulasi uap air pada suhu rendah, maka terjadilah proses kondensasi dan pada gilirannya massa air basah tersebut jatuh sebagai hujan. Disamping itu hujan bisa juga terjadi akibat dari pertemuan antara dua massa air basah dan panas. Mekanisme berlangsungnya hujan melibatkan 3 faktor utama, yaitu:
1. Kenaikan massa uap air ke tempat yang lebih tinggi sampai saatnya atmosfer menjadi jenuh.
2.  Terjadi kondensasi atas partikel-partikel uap air kecil di atmosfer.
3. Partikel-partikel uap air tersebut bertambah besar sejalan dengan waktu untuk kemudian jatuh ke permukaan tanah dan permukaan laut (sebagai hujan) karena gravitasi bumi.

D. Pola Hujan
Berdasarkan intensitas dan model dari histogramnya, hujan dapat diklasifikasikan menjadi 4 model hujan, yaitu:
1. Uniform patern, bentuk hujan dengan intensitas merata sepanjang berlangsungnya hujan.
2. Advanced patern, hujan dengan intensitas terpusat di depan (awal hujan berlangsung).
3. Intermediate patern, hujan dengan intensitas terpusat ditengah-tengah berlangsungnya hujan
4. Delayed patern,  hujan dengan intensitas terpusat di belakang (pada akhir  hujan berlangsung).


E. Pengukuran hujan, data hujan dan pengolahannya
1. Pengukuran hujan
Besarnya hujan diukur dengan menggunakan alat penakar curah hujan yang umumnya terdiri atas alat penakar hujan tidak otomatis dan penakar hujan otomatis. Alat penakar hujan tidak otomatis pada dasarnya berupa kontainer atau ember yang telah diketahui diameternya dan dibuat dalam bentuk silinder kearah vertikal untuk memperkecil percikan air hujan. Ketinggian alat ini disarankan berkisar antara 15 – 30 cm dan 50 – 75 cm.
Alat penakar hujan otomatis berupa alat penakar hujan yang mekanisme pencatatannya bersifat otomatis (mencatat sendiri). Dengan cara ini data hujan yang diperoleh selain berupa besarnya curah hujan selama periode waktu tertentu juga dapat diperoleh besarnya intensitas curah hujan dan lama waktu hujan. Penakar hujan yang banyak digunakan adalah Weighing buchet rain gauge dan tipping buchet.      
2. Data hujan
Data hasil pencatatan penakar hujan berupa :
  1.  Ketinggian hujan/tebal hujan/jumlah hujan atau rainfall depth  = d
  2. Lama terjadinya hujanatau duration of rainfall   = t
  3. Kederasan hujan atau rainfall intensity   = i
  4. Periode ulang/frekuensi atau return period   = T
  5. Luas wilayah  atau area   = A