Batubara masih
menjadi produk primadona hingga ekspansi tambang terus dilakukan, termasuk
pengembangan listrik batubara. Kala
banyak negara sudah mulai mengurangi penggunaan batu bara sebagai sumber
energi, pemerintah Indonesia, justru makin masif merencanakan
pertambangan maupun pembangunan PLTU batubara. Padahal, penggunaan batu bara
sangat merusak lingkungan dan manusia. Lauri
Myllyvirta, aktivis Greenpeace International mengatakan, penggunaan batubara
menyebabkan 60 ribu orang Indonesia meninggal tiap tahun. “Ini karena polusi
batubara menyebabkan kanker paru, stroke, penyakit pernafasan dan persoalan
lain terkait pencemaran udara,” katanya di Jakarta, Minggu ( 23/2/14).
Lelaki yang
fokus pada kajian pencemaran udara itu mengatakan, membangun puluhan pembangkit
batubara dan pertambangannya mengakibatkan jutaan rakyat Indonesia merasakan
dampak buruk pencemaran udara beracun. “Polusi batubara sangat berbahaya bagi
manusia. Batubara mengeluarkan partikel PM 2,5 yang sangat mudah masuk ke tubuh
manusia melalui udara yang dihirup. Ini menyebabkan risiko kanker lebih
tinggi,” ujar Myllyvirta.
Indonesia tidak
mempunyai aturan khusus menangani pencemaran udara akibat pertambangan.
Begitupun standardisasi PM 2,5. Indonesia juga tidak pernah memantau bahaya
polusi PLTU. “Indonesia membangun banyak PLTU juga banyak eksplorasi tambang
batubara. Orang di dekat PLTU maupun lokasi tambang sangat dirugikan. Mereka
akan menghirup udara dari batubara itu.”
Saat ini,
beberapa negara justru berkomitmen mengurangi penggunaan batubara. China,
misal, menargetkan pengurangan penggunaan batubara mulai 2017 sebesar
30%. Mereka mulai mengembangkan sumber energi terbarukan karena pencemaran
udara sangat parah pernah melanda China tahun 2008. “Dua tahun terakhir China berusaha
mengembangkan energi angin, solar panel dan berbagai sumber energi terbarukan
lain. Indonesia, sangat tergantung batubara sebagai komoditas utama ekspor.
Saatnya berpindah menggunakan energi terbarukan.”
Bruce Buckheit,
mantan Badan Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika Serikat (EPA US),
berpendapat senada. Dia mengatakan, tahun 1960-an, udara di AS begitu kotor
karena banyak pembangkit listrik tenaga batubara tak menggunakan teknologi
untuk mengurangi pencemaran udara seperti scrubber. Keadaan ini,
mendorong pemerintah AS mengeluarkan peraturan kualitas udara bersih tahun 1970
hingga menyebabkan ratusan perusahaan batubara ditindak hukum bahkan berhenti
beroperasi. “Amerika dan Inggris pernah
mengalami pencemaran udara sangat buruk akibat pembangkit listrik batubara. Hal
serupa terjadi di China baru-baru ini.”
Kini Buckheit
aktif dalam gerakan penegakan aturan udara bersih (clean air act).
Menurut dia, PM 2,5 dalam batubara sangat berbahaya. Walaupun ada alat untuk
mengurangi di udara, tapi tak menjadi jawaban. Ia juga mencemari air. “PM 2,5,
merkuri dari penggunaan batubara jika mencemari air akan sangat merugikan
masyarakat. Peraturan di Indonesia mengenai emisi partikel halus seperti PM 2,5
sangat lemah.”
Tambang barubara,
menciptakan kerusakan lingkungan, kolam-kolam terbuka bekas galian juga
membahayakan keselamatan manusia. Belum lagi, polusi udara dan air yang bisa
menyebabkan beragam penyakit bagi manusia.
Sementara itu, Donna Lisenby, Koordinator Kampanye batubara Global
Waterkeeper Alliance, mengatakan, pencemaran tambang batubara terjadi mulai
kegiatan penambangan, pengangkutan hingga pembangunan PLTU. “Pencemaran
batubara berakibat langsung pada pencemaran air. Limbah yang ditahan tidak
dibuang ke udara, akan terbuang ke tanah atau air. Ini mengakibatkan pencemaran
di hulu dan hilir sungai,” katanya.
Pencemaran di
tanah dan air akan berakibat buruk bagi pertanian. Lahan gambut yang berfungsi
sebagai penjernih air bisa rusak. Tak pelak, ketahanan pangan bisa hancur. Bahkan, katanya, dari 26 persen bayi lahir di
sekitar tambang batubara berpotensi cacat. “Di Indonesia belum ada penelitian
mengenai ini. Bentuk ikan dan katak di sungai sudah tercemar limbah
batubara juga mengalami perubahan.” Aktivis
350.org dari Renuka Saroha, menjabarkan kondisi di India. Menurut dia,
penggunaan batubara pada pembangkit listrik di India menyebabkan persoalan
sangat serius bagi lingkungan hidup. Batubara awal dari kematian manusia,
lingkungan dan kebudayaan. “Budaya rusak ketika eksplorasi tambang batubara
dilakukan karena memaksa orang yang tinggal di lokasi itu pindah.”
India,
mengimpor batubara dari Indonesia dalam jumlah sangat besar bukan untuk
ketersediaan listrik, atau pembangunan mensejahterakan rakyat. Namun, hanya menguntungkan
politisi dan pengusaha, sedang masyarakat malah rugi. Dia mencontohkan, PLTU Tata Mudra, yang
menghasilkan listrik 4.000 megawatt. Batubara diimpor dari Indonesia dengan
pengeluarkan US$4,140 juta, dan kerugian US$112 juta per tahun. “Ini tidak
memberikan keuntungan sama sekali. Sudah saatnya pemerintah mendorong
penggunaan energi terbarukan,” kata Saroha.
Ki Bagus Hadi
Kusuma dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pun angkat bicara. Dia
mengatakan, Indonesia harus segera menghentikan ekspor batubara. Sebab, dampak
lingkungan dan sosial jauh lebih tinggi dibandingkan keuntungan. Menurut dia, produksi 400 ton per tahun harus
dikurangi secara drastis jika ingin menyelamatkan pertanian, sungai dan hutan
juga kesehatan warga di sekitar tambang. “Sebanyak 44 persen dari daratan
Indonesia dikapling untuk pertambangan atau migas.”
Perizinan
batubara, katanya, terbilang sangat mudah. Keadaan ini, terlihat dari
statistik izin eksplorasi batubara sebanyak 40,21 persen dari keseluruhan izin
tambang di Indonesia. Batubara konsumsi
dalam negeri hanya berkisar 20-25 persen. Mayoritas, 70-77 persen itu diekspor.
“Jika pemerintah masih memaksakan memprioritaskan batubara sebagai ekspor,
dalam 10-20 tahun mendatang perekonomian Indonesia kolaps,” ucap Bagus. Hingga 2020, pemerintah Indonesia
menargetkan penggunaan batubara pembangkit listrik hingga 64%. Sedang energi
terbarukan sangat kecil. Gas 17 persen, gheotermal 12 persen, minyak satu
persen dan hydro enam persen.
Pius Ginting,
Manajer Kampanye Energi dan Tambang Walhi Nasional mengatakan, rencana
investasi besar-besaran rel kereta api di Kalimantan dan Sumatera, akan
bertentangan dengan target penurunan emisi pemerintah. Ia juga mengancam
pencapaian target penggunaan energi terbarukan sebanyak 25 persen tahun 2025.
“Pemerintah harus menghentikan PLTU batubara besar di Jawa-Sumatera.”